Hari ini,ketika
ayahku baru pulang dari masjid, berbeda dari biasanya, beliau langsung duduk di
kursi ruang tengah. Biasanya sehabis pulang dari masjid, beliau pasti ke dapur,
dan minum teh yang memang sudah disediakan untuk beliau, namun hari ini lain. Sehabis
duduk, beliau berkata:
“Sebenarnya,
kita ini nggak punya apa-apa ya” ujar beliau dengan tenang. Kontan aku dan
bunda yang saat itu diruang tengah, menjadi terkejut, kami tidak tahu apa
maksud ayah, maka akupun bertanya: “Maksud ayah?”
Lalu, ayahku
berkata:
“Iya, kita
ini sebenernya tidak punya apa-apa. Jiwa kita saja bukan milik kita, tanpa
jiwa, kita tidak akan bisa hidup di dunia, tidak bisa bekerja, tidak bisa
membeli barang atau memiliki sesuatu.
Sore ini
tadi, sebenarnya ayah sudah pengen marah-marah saja ke bunda karena meminjamkan
panic besar kita ke ibu-ibu yang betugas masak di hari raya ini. Ayah sebenernya
nggak boleh, karena, tutup panic itu menghilang dikarenakan oleh kejadian yang
sama 10 tahun yang lalu, udah gitu, ditambah dengan kondisi panci jadi rusak
ketika dikembalikan. Apa itu nggak bikin jengkel? Kita minjemin baik-baik, tapi
ternyata: udah dikembalikan dengn kondisi rusak, ada yang hilang lagi. Ngeselin.
Tapi, hari
ini, waktu ayah sedang sholat, ayah menjadi mendapat pandangan lain tentang panci
itu. Panci itu menyadarkan, bahwa sebenernya kita ini tidak punya apa-apa di
dunia ini. Semua ini hanyalah pinjaman. Jangankan panci, nyawa kita sebenernya
juga merupakan pinjaman dari Tuhan yang suatu saat, entah kapan, akan
diambilnya. Tanpa nyawa, manusia akan mati, nggak bisa bekerja, dan tanpa nyawa
itu, ayah sama bunda nggak akan bisa beli panci yang besar itu. Jadi, untuk apa
manusia itu bersikap pelit terhadap sesuatu? Sebaiknya, pnjamkanlah barang itu,
jikalau memang hal itu bermanfaat dan bisa meringankan beban orang lain.”
Aku pun
terdiam. Benarlah kata ayahku.. Nyawa itu kunci kehidupan dari sebuah manusia. Tanpa
nyawa, tubuh tidak akan bisa bekerja, tidak bisa apa-apa. Mati. Nyawa itu
sendiri merupakan pinjaman dari Yang Maha Kuasa dimana suatu saat bisa diambil.
Tanpa nyawa pula, manusia tidak bisa berfikir. Manusia menjadi kikir karena ia
bisa berfikir. Bayangkan aja, karena ia bisa berfikir, ia bekerja, karena
bekerja, ia bisa punya uang, karena uang, ia bisa membeli sesuatu, dan sesuatu
itu lalu disebut sebagai : Ini milikku!.
Terlalu
berani menusia menyebut suatu barang sebagai miliknya. Dari ilustrasi tadi,
jika dibalik, kita itu tidak bisa memiliki sebuah barang kalau kita tidak
memiliki nyawa yang menggerakkan tubuh ini. Sesuatu itupun (semisal barang)
juga dibuat dari bahan-bahan yang ada di dunia ini, seperti pohon, tanah,
pasir, hasil tambang, dimana semua barang itu juga milik Allah SWT yang
diberikan dengan kasih sayang-Nya kepada umat manusia. Hanya saja, karena
peradaban manusia semakin maju, manusia jadi lupa akan pemikiran seperti ini. Mereka
terjebak dalam pemikiran kaum Jahiliyah yang berfikir hidup tidak bisa berjalan
kalau tanpa uang. Ya, meskipun pemikiran itu memang benar dan tidak salah,
karena saat ini, semua barang dipatok dengan harga dan bukan jamannya
barter-barteran. Tapi, yang salah adalah sifat kikir dan tamak yang ada pada
diri manusia ketika ia mencapai masa jayanya. Menimbun harta, tidak mau berbagi
dengan fakir miskin, riya’, dan berbagai hal yang buruk. Mereka melupakan
eksistensi mereka sebagai “seorang manusia” yang hanya diberi pinjaman berupa
nyawa, yang bisa diambil kapan saja.
Yah, ada
baiknya, pinjamkanlah barang jika kau tidak sanggup untuk memberikannya. Apalagi
bila barang itu bisa bermanfaat dan berguna untuk sesama J. Jangan bersikap pelit dalam
meminjamkan, toh sebenarnya barang itu bukan milikmu, itu semua milik Allah
SWT.
0 comments: